BAJAJ JUGA IKUT MUDIK -->

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

BAJAJ JUGA IKUT MUDIK

Monday, August 29, 2011

CIREBON - Memasuki H-2 Lebaran para pemudik tidak hanya menggunakan kendaraan roda empat dan dua saja, tetapi roda tiga seperti bajaj juga mewarnai suasana arus mudik yang melintasi jalur utama pantura Kabupaten Cirebon.”Meski perjalanan menggunakan kendaraan roda tiga dari Jakarta cukup melelahkan karena laju kendaraan hanya kurang dari 40 kilometer per jam, apalagi kondisi mesin berusia puluhan tahun, namun kami tetap menikmatinya,” kata Subagyo, salah seorang pemudik bajaj ditemui di warung dadakan pantura Kabupaten Cirebon, Minggu (28/8/2011).Menurut dia, kendati laju kendaraan bajaj tidak secepat kendaraan roda dua, namun perjalanan mudik terasa cukup aman dan terhnidar dari angin pantura yang cukup kencang, selain itu seluruh keluarga bisa terangkut, termasuk barang bawaan untuk oleh-oleh di kampung.Perjalanan menggunakan bajaj sudah dijalani Subagyo kurang dari 15 tahun, sejak dirinya menjadi sopir bajaj di Jakarta. Pertama mudik dengan bajaj, kecepatan bajaj bisa mencapai kurang dari 60 kilometer per jam, karena kondisi mesin masih cukup stabil. Selain itu, arus pemudik kendaraan roda dua juga tidak seramai seperti ekarang.”Pemudik dari Jakarta tujuan Jawa Tengah hingga Jawa Timur setiap tahun semakin padat seiring dengan makin tingginya minat masyarakat untuk mengadu nasib di ibu kota,” katanya.Dia menuturkan, dirinya merantau ke Jakarta diajak saudara yang beprofesi sebagai sopir bajaj. Ia pun belajar jadi sopir bajaj. Tak terasa profesi itu sudah digelutinya selama 15 tahun.”Merantau ke Jakarta jika pendidikan kurang maksimal jangan memaksakan diri karena persaingan hidup cukup ketat selain itu lapangan kerja kini semakin sulit,” katanya.Sementara itu, Martono salah seorang bajaj lain menuturkan, penghasilan sopir bajaj di Jakarta kini semakin sulit akibat banyaknya kendaraan roda dua. Saat ini ia tengah berpikir untuk kembali ke kampung halaman, memulai usaha baru atau mengolah lahan pertanian.Menurut dia, kehidupan di Jakarta perlu kerja keras, berbeda dengan di kampung halamannya, masih bisa santai selepas panen padi. Hidup di kota juga punya beban untuk pulang kampung setiap Lebaran. Tradisi tahunan ini, menurutnya, tidak hanya membebani dari sisi biaya, tapi juga berisiko nyawa melayang di jalan.