MINIM infrastruktur picu kemiskinan -->

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

MINIM infrastruktur picu kemiskinan

Monday, June 6, 2011

JAKARTA - Pemerintah harus mempercepat pembangunan agar berdampak pada program pengentasan masyarakat dari kemiskinan, terutama bagi pengembangan usaha kecil dan menengah.
“Ketidaktersediaan listrik dan jaringan transportasi merupakan kendala utama bagi masyarakat yang hendak berusaha di daerah. Berbagai program yang baik, jika tidak diterapkan dengan benar, tidak akan menghasilkan output yang sesuai rencana. Di sinilah kemampuan eksekusi pemerintah dan akuntabilitas program sangat krusial,” kata Wijayanto, ekonom dari Universitas Paramadina, di Jakarta, Jumat (3/6).
Menurutnya, definisi kemiskinan juga perlu disesuaikan sebab indikator sebesar 211.000 rupiah per kapita per bulan terlalu rendah dan sangat tidak realistis. “Untuk itu, kita perlu lebih jujur pada diri sendiri. Standar yang lebih tinggi akan mendorong kita untuk bekerja lebih keras,” tuturnya.
Sama halnya dengan kemiskinan, Wijayanto mengusulkan definisi pengangguran yang juga perlu disesuaikan. Definisi pengangguran saat ini mengacu pada standar organisasi buruh dunia, ILO, yang menyatakan seseorang yang bekerja paling tidak satu jam dalam satu minggu dianggap bukan penganggur.
“Tentunya ini sangat tidak realistis, bekerja satu jam seminggu tidak membuat orang keluar dari jerat kemiskinan. Definisi pengangguran harus disesuaikan sehingga seseorang yang tidak menganggur diharapkan tidak miskin. Hal ini perlu sekali mengingat penciptaan lapangan kerja sangat berperan dalam menekan kemiskinan. Ini artinya kebijakan ketenagakerjaan dan kemiskinan harus sejalan,” jelas Wijayanto.
Sementara itu, peneliti ekonomi dari LIPI, Latif Adam, mengatakan program kerakyatan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga, dan Kredit Usaha Rakyat hanya memberikan kontribusi 5 persen dari konsumsi masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi. “Ini terlalu kecil bila dibandingkan dengan alokasi anggaran yang sampai triliunan,” jelasnya.
Itu terjadi, kata Latif, karena banyak penyaluran program kerakyatan yang salah sasaran. Bahkan, berdasarkan penelitian LIPI di tiga provinsi, terutama pada PNPM, ditemukan dana yang disalurkan dan dinikmati masyarakat miskin hanya 40 persen, sedangkan 60 persen banyak dinikmati oleh masyarakat yang kategorinya bukan miskin
“Seharusnya prioritas utama itu untuk kategori miskin, tapi kadang kala pemerintah berkelit program ini untuk pemberdayaan masyarakat, bukan menanggulangi kemiskinan,” pungkasnya.
Kualitas Pertumbuhan
Menurut peneliti ekonomi kerakyatan UGM, Noer Sutrisno, sejauh ini pembangunan ekonomi tak dibarengi dengan kualitas pertumbuhan sehingga hanya sedikit golongan ekonomi yang ikut naik bersama pertumbuhan.
“Pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan itu ukuran prestasi ekonomi. Makin berkualitas pertumbuhan, makin banyak rakyat miskin yang dientaskan,” katanya.
Diungkapkan Noer, pengembangan sektor-sektor ekonomi di tingkat bawah tidak banyak berkolerasi dengan sektor keuangan yang mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Pemerintah sebenarnya sudah mencoba mengatasi dengan program KUR. Namun, instrumen ini kurang berhasil karena dari 4 juta nasabah KUR, hanya 400 ribu yang bermigrasi dari mikro menjadi usaha kecil.
“Padahal, jumlah usaha mikro lebih dari 40 juta. Makanya, kalau setahun baru bisa mengentaskan 400 ribu nasabah, butuh berapa tahun agar rakyat sejahtera? Sedangkan usaha besar dan menengah jumlahnya hanya sejuta, dan itu saja yang selama ini menikmati pertumbuhan,” jelasnya. YK/lex/fia/AR-2