
Konferensi ini diisi pembicara dari organisasi antikorupsi dari beberapa negara, seperti Afrika Selatan, Rusia, Malaysia, dan negaranegara maju seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan. Sebanyak 35 negara mengirimkan perwakilannya dengan jumlah peserta 375 orang. Konferensi internasional ini dilaksanakan selama dua hari. Presiden mengingatkan upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan terus-menerus untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Kepala Negara mencontohkan keberhasilan Pemerintah Hong Kong menjaga kotanya bersih dari korupsi.
“Seperti menjaga lahan kita, jika kita tidak rajin merawat, maka akan tumbuh banyak gulma dan parasit. Jika bersantai-santai menghadapi ancaman korupsi, maka korupsi akan merajalela dan menguasai masyarakat,” tegas Yudhoyono. Kepala Negara mengatakan bahwa Konferensi Bali yang dihadiri 35 negara ini merupakan mimpi buruk bagi koruptor. “Pertemuan ini benar-benar merupakan mimpi buruk bagi koruptor,” tegasnya. Kepala Negara menegaskan, berdasarkan pengalamannya, salah satu kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi adalah melakukan pemberantasan secara sistemik.
“Upaya itu harus holistik, yang artinya kita harus menggali, memulai dari akar rumput, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di seluruh lapisan,” katanya. Menurut data Bank Dunia, uang suap dari transaksi ekonomi global kini berjumlah 1 miliar dollar AS atau setara 8.900 triliun rupiah. Jumlah itu sekitar empat kali lipat dari APBN Indonesia, yaitu sebesar 2.209 triliun rupiah. “Tiga persen dari ekonomi dunia digunakan untuk suap. Penyuapan lazim dilakukan dalam upaya penggelapan pajak. Tindakan tak terpuji itu juga marak di sektor investasi, khususnya investasi asing,” kata Presiden SBY menyitir data yang dirilis Bank Dunia.
SBY mengatakan, ada sekitar 150 perusahaan dan individu di lebih dari 10 negara telah didakwa dengan tuduhan penyuapan dan telah dihukum. Kendati begitu, upaya itu belum cukup untuk memerangi praktik haram tersebut. Sebab, suap dan korupsi telah menggerogoti perekonomian bangsa, yang pada tingkat paling dasar menimbulkan biaya dalam bentuk mark-up yang tidak perlu dalam setiap proyek.
Dikatakan, praktik korupsi dan suap menyebabkan terjadinya penurunan kepercayaan terhadap kewibawaan pemerintah. Ketidakpercayaan ini pada akhirnya dapat berubah menjadi ketidakpuasan politik. Ketidakpuasan politik sendiri menimbulkan ketidakstabilan politik, yang pada akhirnya membuat rapuh landasan ekonomi bangsa.
“Seperti menjaga lahan kita, jika kita tidak rajin merawat, maka akan tumbuh banyak gulma dan parasit. Jika bersantai-santai menghadapi ancaman korupsi, maka korupsi akan merajalela dan menguasai masyarakat,” tegas Yudhoyono. Kepala Negara mengatakan bahwa Konferensi Bali yang dihadiri 35 negara ini merupakan mimpi buruk bagi koruptor. “Pertemuan ini benar-benar merupakan mimpi buruk bagi koruptor,” tegasnya. Kepala Negara menegaskan, berdasarkan pengalamannya, salah satu kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi adalah melakukan pemberantasan secara sistemik.
“Upaya itu harus holistik, yang artinya kita harus menggali, memulai dari akar rumput, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di seluruh lapisan,” katanya. Menurut data Bank Dunia, uang suap dari transaksi ekonomi global kini berjumlah 1 miliar dollar AS atau setara 8.900 triliun rupiah. Jumlah itu sekitar empat kali lipat dari APBN Indonesia, yaitu sebesar 2.209 triliun rupiah. “Tiga persen dari ekonomi dunia digunakan untuk suap. Penyuapan lazim dilakukan dalam upaya penggelapan pajak. Tindakan tak terpuji itu juga marak di sektor investasi, khususnya investasi asing,” kata Presiden SBY menyitir data yang dirilis Bank Dunia.
SBY mengatakan, ada sekitar 150 perusahaan dan individu di lebih dari 10 negara telah didakwa dengan tuduhan penyuapan dan telah dihukum. Kendati begitu, upaya itu belum cukup untuk memerangi praktik haram tersebut. Sebab, suap dan korupsi telah menggerogoti perekonomian bangsa, yang pada tingkat paling dasar menimbulkan biaya dalam bentuk mark-up yang tidak perlu dalam setiap proyek.
Dikatakan, praktik korupsi dan suap menyebabkan terjadinya penurunan kepercayaan terhadap kewibawaan pemerintah. Ketidakpercayaan ini pada akhirnya dapat berubah menjadi ketidakpuasan politik. Ketidakpuasan politik sendiri menimbulkan ketidakstabilan politik, yang pada akhirnya membuat rapuh landasan ekonomi bangsa.