BUTA AKSARA MASIH MENJADI MASALAH BESAR -->

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

BUTA AKSARA MASIH MENJADI MASALAH BESAR

Wednesday, May 18, 2011

Predikat sebagai salah satu negara penyandang buta aksara terbesar di dunia melekat pada Indonesia. Kondisi ini harus dientaskan guna melepaskan masyarakat dari perangkap kemiskinan.

Salah satu citra buruk kembali melekat pada Indonesia. Setelah 65 tahun merdeka, bangsa ini ternyata belum merdeka dari buta aksara. Bahkan, predikat sebagai salah satu dari sembilan negara penyandang buta aksara terbesar di dunia disematkan pada negeri berpenduduk kurang lebih 240 juta ini.

Indonesia tidak hanya tertinggal dari negara-negara maju di Eropa dan Asia, tapi dari negara-negara seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja. Indonesia hanya sejajar dengan delapan negara lainnya di dunia, yakni India, Pakistan, Cina, Meksiko, Bangladesh, Mesir, Brasil, dan Nigeria.

Pada dasarnya, buta aksara adalah ketidakmampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Ketidakmampuan ini niscaya menempatkan seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam ketertinggalan. Karena, membaca dan menulis merupakan jendela untuk melihat dunia, dimana dengan kemampuan membaca dan menulislah seseorang bisa melihat dunia dengan segala perkembangannya.

Tingkat melek aksara (literacy) merupakan salah satu parameter yang paling mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia (Human Development Index), menentukan tingkat kesejahteraan (product domestic bruto) sekaligus menentukan tingkat umur harapan hidup (life expectancy). Jadi jika penduduk makin melek aksara, berarti makin majulah masyarakat itu dalam peradabannya ke depan.

Penyandang buta aksara cenderung memiliki tingkat produktivitas yang rendah, karena kondisi buta aksara terkait erat dengan kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Artinya, kebodohan, keterbelakangan, ketidakberdayaan atau kemiskinan merupakan mata rantai yang saling terkait dari dampak buta aksara.

Selanjutnya, buta aksara juga akan melahirkan rasa tidak percaya diri sekaligus perasaan apatis terhadap segala bentuk perubahan pada penyandangnya. Bahkan, ada yang menganggap perubahan itu sebagai sebuah ancaman. Kondisi ini kemudian membuat mereka cenderung menjadi beban orang lain atau masyarakat secara umum.

Melihat kondisi demikian, maka mereka yang menyandang buta aksara harus segera dibebaskan dari jeratan problem yang melilitnya. Dalam hal ini, persoalan yang kerap ditemui pihak yang berwenang selama ini adalah model dan cara pendekatan penanganannya. Karena, pendidikan keaksaraan memiliki sistem dan metode pengajaran yang berbeda dari pendidikan formal.

Pendidikan keaksaraan sebagai bagian dari pendidikan nonformal tidak terlepas dari tugas dan fungsinya, yaitu sebagai pelengkap (suplemen), penambah (komplemen), dan pengganti (subtitusi) yang tercipta dari suatu sistem pendidikan secara menyeluruh.

Hal lain yang juga perlu diingat dalam program pendidikan keaksaraan ini, umumnya penyandang buta aksara adalah orang-orang yang kurang mampu dari segi ekonomi dan usia yang telah matang dan kaya pengalaman. Berbeda dengan pendidikan formal yang umumnya dari bidang ekonomi yang dapat dikatakan telah mampu dan usia yang relatif muda.

Di Indonesia, menurut Dirjen Pendidikan Non-Formal dan Informal Kemendiknas sebagaimana disampaikan pada acara peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke-45 di Balikpapan, Kalimantan Timur (10/10/2010), hingga akhir 2009 populasi penduduk buta aksara yang berusia di atas 15 tahun masih sekitar 8,7 juta atau 5,3 persen. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berusia di atas 45 tahun, dan 64 persen di antaranya perempuan.

Pemerintah sendiri sejak dulu sebenarnya telah melakukan beberapa usaha. Sejak awal kemerdekaan, melalui bagian pendidikan masyarakat, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, pemerintah telah melakukan gerakan ‘melek’ aksara yang dikenal dengan nama Pemberantasan Buta Huruf (PBH) atau Kursus ABC.

Pada tahun 1951, pemerintah juga telah menyusun rencana Sepuluh Tahun PBH, dengan harapan buta aksara akan selesai dalam jangka waktu 10 tahun. Namun jumlah masyarakat buta huruf masih tetap tinggi. Keadaan itu membuat gerah Presiden Soekarno sehingga mengeluarkan komando untuk menuntaskan buta huruf sampai 1964. Pada 1966, pemeritah kembali menggulirkan program PBH fungsional. Saat itu PBH dibagi dalam tiga tahapan, yakni PBH permulaan, PBH lanjutan I, dan PBH lanjutan II.

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Orde Baru, persisnya mulai tahun 1970-an dirintis pula program Kejar Paket A, yaitu program PBH dengan menggunakan bahan belajar Paket A yang terdiri atas Paket A1 sampai A100. Hingga tahun 1995, program PBH masih terus dilakukan di sembilan provinsi dengan memperbaiki sistem pelatihan, metodologi pembelajaran, dan sistem penyelenggaraannya.

Namun kenyataannya, dengan 8,7 juta penduduk yang masih buta huruf belakangan ini Indonesia masih menyandang predikat sebagai salah satu negara dengan penduduk buta aksara terbesar di dunia. Fakta yang cukup membuat gerah bangsa ini.

Hingga kini, upaya peberantasan buta aksara terus dilaksanakan. Kementerian Pendidikan Nasional menargetkan pada akhir tahun 2010 jumlah buta aksara turun menjadi 4,79 persen atau sekitar 8,3 juta orang. Dan sesuai Renstra Kemdiknas tahun 2010-2014, pada akhir tahun 2014 jumlah buta aksara di Indonesia tinggal 4,2 persen atau 6,9 juta orang.

Menteri Pendidikan Nasional RI, Mohammad Nuh dengan tegas meminta agar penderita buta aksara di seluruh Indonesia didata secara lengkap. Dari jumlah tersebut di atas, tiga provinsi di Jawa tercatat paling tinggi penderita buta aksaranya. “Ini berarti kemajuan sebuah daerah tidak berbanding lurus dengan pemerataan kesempatan masyarakat dalam mengenal huruf,” ungkap Nuh.

Nuh menambahkan, program keaksaraan untuk mengurangi jumlah buta aksara kian sulit karena kini penduduk yang buta aksara tersisa di kelompok masyarakat yang tersulit dari sisi ekonomi (sangat miskin), geografis (terpencil, terpencar, dan terisolasi), sosial budaya, dan berusia di atas 45 tahun. Untuk itu, pendidikan keaksaraan terintegrasi dengan kecakapan hidup dan program pengentasan kemiskinan.

“Yang kita sisir, mereka yang berusia 45 tahun ke bawah dulu. Kita juga harus menjaga jangan sampai ada pendatang baru buta huruf,” ujarnya. Pendidikan keaksaraan sangat penting karena akan membuka kesempatan untuk mendapat akses informasi, ekonomi, dan akses lain. Jika tidak paham aksara atau simbol-simbol yang disepakati bersama, seseorang akan terpinggirkan.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Non Formal Informal (Dirjen PNFI) Hamid Muhammad mengatakan, ada lima tantangan besar dalam pemberantasan buta aksara, yakni: Pertama, sisa penduduk buta aksara adalah kelompok masyarakat yang tersulit secara ekonomi dan geografis, juga sosial budaya. Kedua, perempuan buta aksara lebih banyak daripada laki-laki buta aksara.

Ketiga, sebagian besar penderita buta aksara berusia 45 tahun ke atas, terbatas fisik maupun kemampuan kognitifnya. Faktor keempat, karena kurangnya latihan membaca, sehingga warga belajar yang sudah terbebas dari buta aksara kembali menjadi buta aksara. Kelima, kesulitan melakukan identifikasi sasaran program karena belum tersedia data sasaran berdasarkan nama dan alamat yang jelas.

Menghadapi permasalahan dan tantangan seperti itu, penyelenggaraan program penuntasan buta aksara sejak 2009 telah dibangun dalam kerangka kerja Akrab (Aksara Agar Berdaya) sejalan dengan kerangka LIFE (Literacy Initiative for Empowerment) UNESCO. “Dalam hal ini, upaya penuntasan buta aksara melalui pendidikan keaksaraan terintegrasi dengan kecakapan hidup dan program pengentasan kemiskinan secara umum agar berdampak pada kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Pada pelaksanaannya, Kemendiknas juga bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan, Kementerian Pemberdayaan Daerah Tertinggal, Kementerian Tenaga Kerja dan melibatkan para petugas di pedesaan terutama bagi daerah terluar, pelosok, pedalaman dan terpencil.

Masalah disparitas gender buta aksara antara laki-laki dan perempuan yang masih relatif besar (2,64 persen) juga telah coba diatasi. Direktur Pendidikan Masyarakat Ditjen PNFI Kemdiknas Ella Yulaelawati mengatakan, selama ini telah dilakukan pendekatan melalui program pemberdayaan perempuan, seperti ‘Koran Ibu’ sebagai media menulis dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk perempuan.

Selain itu, di beberapa daerah juga ada program Mobil Pintar dan Rumah Pintar untuk mendekatkan masyarakat ke perpustakaan, guna meningkatkan minat baca masyarakat.

Sejauh ini, daerah yang cukup berhasil memberantas buta aksara di antaranya Kabupaten Gunung Kidul. Sejak awal tahun ini, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul menyatakan sebagai kawasan bebas buta aksara. Saat ini, pendidikan kesetaraan sekolah dasar atau paket A tidak lagi digelar di Gunung Kidul. Hanya ada siswa untuk pendidikan paket B setara SMP dan paket C setara SMA. Direktur Pusat Kajian Belajar Masyarakat (PKBM) Ngudi Pinter, Semanu, Gunung Kidul, Tugino mengatakan, saat ini dilakukan pendampingan terhadap mereka yang sebelumnya menyandang buta aksara agar mereka yang telah terentaskan tidak kembali buta aksara.

Warga Pacarejo, Semanu, Ngadinem (40), misalnya, mengaku bisa membaca dan menulis dalam waktu satu bulan belajar. Namun, keterampilan membaca dan menulis itu mudah hilang jika tidak dipakai setiap hari. “Agar tidak lupa, kami mengimbau mereka agar tetap belajar membaca minimal setengah jam setiap hari atau dikenal sebagai gerakan belajar setengah jam,” kata Tugino pertengahan September lalu.

Sedangkan di Provinsi Banten, Wakil Gubernur Banten HM Masduki, saat peringatan Hari Aksara Internasional ke-45 Tingkat Provinsi Banten di Pandeglang (21/10) mengatakan, Pemerintah Provinsi Banten menargetkan bebas penyandang buta aksara pada tahun 2012, karena hingga tahun 2010 masih terdapat sekitar 124.041 jiwa penduduk buta aksara. “Kami punya keyakinan hingga dua tahun ke depan, penyandang buta aksara di Banten yang masih berkisar 124 ribu akan bisa diselesaikan. Penyelesaian program pemberantasan buta aksara ke depan akan dioptimalkan untuk daerah-daerah kabupaten/kota yang tingkat penduduknya padat serta penyandang buta aksara masih tinggi, seperti Kabupaten Tangerang dan Pandeglang.

Melihat masih banyaknya penduduk Indonesia yang buta aksara, pemerintah mesti terus menggiatkan program-program pemberantasan buta aksara yang sudah berjalan. Apalagi paradigma untuk pendidikan keaksaraan saat ini mengalami perluasan makna, dimana bukan lagi hanya berkutat pada masalah kesenjangan kecakapan membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga menyangkut kecakapan-kecakapan tertentu dan penguasaan keterampilan praktis yang kontekstual dan selaras dengan perubahan peradaban manusia.

Dengan perkembangan paradigma seperti ini, berarti kesenjangan Indonesia dengan negara lain dalam masalah ini akan kembali lebar. Itu artinya, perjuangan bangsa ini agar terlepas dari buta aksara semakin panjang dan bera